Beritabatavia.com -
Lalu lintas adalah cermin budaya dan potret modrenitas sebuah bangsa serta urat nadi kehidupan. Hampir seluruh aktivitas masyarakat bersinggungan dengan lalu lintas. Maka pemerintah berkewajiban mewujudkan lalu lintas yang aman,selamat,tertib,lancar (Kamseltibcarlantas).
Bagaimana cara mewujudkannya ? Salah satunya adalah penegakan hukum. Tetapi penegakan hukum bukan menjadi tujuan, melainkan salah satu bagian dari upaya mewujudkan Kamseltibcarlantas, bahkan merupakan langkah terakhir.
Seyogianya, penegakan hukum diawali atau setidaknya disertai upaya-upaya untuk meningkatkan kesadaran tertib berlalu lintas masyarakat. Karena keberhasilan bukan ditentukan seberapa banyak orang yang ditindak atau di hukum dan ditangkap, tetapi dapat dikatakan sukses apabila tidak ada lagi pelanggaran lalu lintas karena masyarakatnya sudah menjadikan tertib dan keselamatan berlalu lintas sebagai kebutuhan yang wajib dilaksanakan.
Begitu juga implementasi Electronic Traffic Law Enforcement (E-TLE) atau tilang elektronik yang akan diterapkan oleh Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya pada 1 Nopember 2018. Meskipun E-TLE sudah memiliki landasan hukum yang diatur dalam Pasal 272 ayat 1 dan 2 UU no 22 tahun 2009. Tetapi Polri tidak juga boleh alpa terhadap upaya yang lebih substansional yaitu menumbuhkan dan meningkatkan kesadaran tertib berlalu lintas masyarakat.
Selain lebih efektif, juga tidak menuai tudingan bahwa Polri hanya berorientasi pada penegakan hukum. Apalagi jumlah pelanggar yang ditindak bukanlah sesuatu yang membanggakan. Justru itu adalah potret kegagalan pemerintah dan Polri mewujudkan Kamseltibcarlantas. Artinya, kondisi lalu lintas kita masih Unresolved Risk atau masalah yang belum terselesaikan.
Diskusi publik bertajuk E-TLE Siapkah yang digelar Forum Wartawan Polri pada Jumat 26 Oktober 2018, menuai respon beragam . Tentu apabila pertanyaan E-TLE Siapkah ? Ditujukan kepada Polri khususnya Ditlantas Polda Metro Jaya, pasti jawabnya sangat siap dan perlu. Alasannya ? silakan Dir Lantas Polda Metro Jaya yang menjawab.
Tetapi kalau masyarakat yang ditanya. Jawabannya ada yang setuju dan ada pula yang tidak mendukung atau menolak bahkan minus respon. Masyarakat yang mendukung atau setuju adalah masyarakat yang memiliki ekspektasi bahwa penegakan hukum bertujuan untuk mewujudkan Kamseltibcarlantas. Apabila proses penegakan hukum yang sesuai prosedur dan dilaksanakan secara konsisten serta menjamin tidak lagi ada praktik-praktik oknum nakal.
Sedangkan kelompok masyarakat yang menolak, adalah representasi orang atau kelompok yang kecewa sebab trutsnya tergerus atas data empiris selama ini terhadap Polri. Sehingga terbangun rasa curiga yang berlebihan meskipun belum tentu benar atau salah. Namun, mereka terus memelihara rasa kecurigaan itu karena belum melihat dan merasakan upaya nyata yang dapat merubah sikapnya. Sehingga E-TLE ini dinilai hanya akal akalan yang akhirnya akan menyulitkan masyarakat.
Penegakan hukum dengan system E-TLE yang diterapkan di sejumlah ruas jalan protokol di Jakarta seperti Thamrin- Sudirman juga menuai pertanyaan beragam. Masyarakat bertanya, kenapa Polisi yang bermasalah koq masyarakat yang disalahkan. Sebaiknya Polri melakukan pembinaan secara internal terhadap petugas yang terbukti melakukan tindakan tidak terpuji. Karena sebelumnya beredar informasi terkait alasan mendasar pelaksanaan E-TLE untuk menghindari praktik tidak terpuji yang masih marak dilakukan oleh oknum nakal di lapangan. Lalu E-TLE dianggap dapat memutus mata rantai kontak langsung antara petugas dengan masyarakat khususnya pelanggar aturan lalu lintas.
Selain itu, masyarakat juga kepo alias ingin tahu terkait dana pengadaan sarana prasarana E-TLE. Apakah menggunakan anggaran APBN atau swadaya ? Masyarakat juga meminta kepastian bahwa E-TLE semata untuk membantu tugas Polisi dalam melaksanakan penegakan hukum demi terwujudnya Kamseltibcarlantas.
Tetapi yang lebih penting, Polisi harus memastikan bahwa E-TLE bukan jaring pukat untuk mendulang rupiah dalam upaya memenuhi target pendapatan negara bukan pajak (PNBP) dari denda tilang. Apabila masyarakat tidak mendapatkan penjelasan yang rinci, transparan dan mudah dimengerti, tentu akan menimbulkan praduga beraroma tak sedap sehingga E-TLE menjadi Erotic Target Locasion Error. O Edison Siahaan /Ketua presidium Indonesia Traffic Watch (ITW).