Beritabatavia.com -
Ondel-ondel, ikon budaya sekaligus kesenian tradisonal khas Betawi kerap menarik perhatian wisatawan asing saat berkunjung ke Ibukota. Sayangnya, hingga kini tempat ondel-ondel untuk mengespresikan budaya agar bisa tampil secara resmi, nyaris tak ada panggung. Cuma jika moment tertentu atau saat karnaval budaya, pada Peringatan 17 Agustus dan HUT Jakarta baru muncul. Juga hadir saat ada hajatan pernikahan atau acara adat Betawi.
Ini menunjukkan perhatian pemerintah provinsi hingga daerah terhadap pelestarian budaya sangat rendah. Kondisi itu juga melanda tempat wisata, pusat kesenian dan kebudayaan, pusat perbelanjaan, hotel dan restoran jarang memberikan ruang bagi kesenian tradisional ini. Ya Cuma, sekedar mempertontonkan Boneka pasangan Laki Perempuan di depan pintu masuk.
Sejarah masa lalu, ondel-ondel dipakai sebagai penolak bala dan diarak keliling kampung. Ondel-ondel dipercaya personifikasi nenek moyang untuk mengusir gangguan roh halus. Kehadiran ondel-ondel memerankan leluhur atau nenek moyang yang senantiasa menjaga anak cucunya atau penduduk suatu desa.
Namun dalam perjalanan sejarah, fungsinya berubah total. Jangan heran, jika sering melihat boneka besar setinggi sekitar 2,5 meter dengan garis tengah sekitar 80 sentimer yang terbuat dari anyaman bambu kerap tampil di jalan, perkantoran hingga perkampungan di Jakarta, Bekasi bahkan Tangerang.
Dengan kondisi yang kusam lantaran terlalu sering kena debu dan asap knalpot, ondel-ondel dimainkan para remaja tanggung, musiknya pakai kaset yang didorong gerobak kecil. Bahkan pengaraknya tak kalah kusam, dekil, pakai jins belel sambil membawa ember kecil sambil meminta-minta uang sekedarnya kepada setiap orang yang ditemui.
Memang cara ini tak ada kaitannya dengan pelestarian budaya, namun murni ekonomi. Elokkah cara-cara semacam ini? apakah ini upaya baru mengenalkan seni tradisi kepada generasi penerus? Atau sebaliknya, malah berpotensi menodai tradisi budaya Betawi.
Kita wajib bertanya, ke mana pemerintah? Apakah pelaku kesenian tradisional kita akan dibiarkan mencari uang dengan mengamen? Perlukah mereka ditertibkan? Perlukah dibuat payung hukum untuk melindungi kesakralan kesenian tradisional kita? Dan ini menunjukkan keberadaan ondel-ondel tidak lagi dimanfaatkan untuk kegiatan budaya. Namun dieksplotasi, disalahgunakan untuk mengamen.
Masalah ini memang pernah mendapat perhatian serius saat Jakarta dipimpin Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, sedikit demi sedikit aksi ondel-ondel di jalanan hilang. Saat Gubernur DKI Jakarta dipegang Djarot Saiful Hidajat meminta Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) untuk menertibkan keberadaan pengamen ondel-ondel. Karena penggunaan atribut ondel-ondel untuk mengamen termasuk eksploitasi budaya.
Namun kini kembali marak, karenanya Pelaksana tugas (Plt) Kadisbudpar DKI, Asiantoro mengeluarkan larangan Ondel-ondel diarak ke jalan dengan tujuan mengamen. Meskipun kegiatan ini membudaya, Disparbud DKI Jakarta berencana melakukan penertiban. Mengingat, ondel-ondel sebagai ikon Jakarta tak patut disamakan dengan kegiatan mengemis dan bergelandang, yang dilarang undang-undang.
Untuk peraturan itu bukan Disparbud yang mengatur, tetapi UU menyatakan mengamen itu tidak boleh, kata pelaksana tugas (Plt) Kadisbudpar DKI, Asiantoro seperti dilansir bisniswisata.co.id, Minggu (16/12)
Pihaknya meyakini, ondel-ondel yang kerap mengamen di jalan raya tidak sesuai dengan kesenian aslinya, juga musik ciri khas dan busana Betawi, sehingga aksi jalanan itu tidak tergolong melestarikan budaya. Apalagi, musik dan kostum ondel-ondel yang dijadikan bahan mengamen tidak sesuai dengan ondel-ondel yang dilestarikan melalui sanggar atau asosiasi yang sering diundang tampil di festival-festival, ungkapnya.
Kondisi itu yang melatari pihaknya untuk melakukan penertiban, dengan mengadakan diskusi-disukusi dengan pihak sanggar dan asosiasi. Ini dalam rangka membina pengamen ondel-ondel agar mereka juga turut mengambil bagian dalam melestarikan budaya, bukan malah membajaknya untuk mengamen. Rencananya memang begitu (menertibkan), kita sih pernah mengobrol dengan Lembaga Khusus Pelatihan (LKP), bagaimana caranya membuat tertib itu, terang dia.
Menyikapi rencana itu, Ketua Komisi B DPRD DKI Abdurrahman Suhaimi mengatakan, pihaknya tidak menyetujui dengan terminologi penertiban terhadap pengamen ondel-ondel. Komisi B lebih memilih kegiatan yang dilakukan adalah pembinaan.
Sehingga, Pemprov DKI tidak terkesan lepas tanggung jawab terhadap warganya, sebab mereka lantas dibina dan diwadahi agar turut serta melestarikan budaya dan ikon Ibu Kota menjadi lebih terarah. Seperti yang diharapkan Komisi B jadi bukan sekadar menertibkan, bukan sekadar dirazia, kemudian mereka tidak diwadahi, bukan itu maksudnya tetapi sebagai warga DKI mereka dibina. Kita ada anggarannya untuk itu, ujarnya.
Dilanjutkan, untuk memudahkan proses pemberdayaan, pemerintah bisa menunjuk sanggar-sanggar mana yang dapat melakukan pelatihan-pelatihan khusus pelestarian ondel-ondel. Adanya sanggar khusus yang mewadahi maka pengawasan dari pemerintah bakal lebih mudah.
Penertiban itu memang penting karena berhubungan dengan ketertiban umum, tapi bagian dari penertiban itu adalah membina m mereka dan memerikan sosialisasi kepada mereka, tekan Suhaimi. 0 KAY