Beritabatavia.com -
Perayaan Hari Pers Nasional (HPN) pada 9 Februari yang bersamaan dengan terbentuknya organisasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) belum menjadi momentum penting bagi sebagian besar insan Pers.
Apalagi pada puncak perayaan HPN, terkesan panitya lebih berharap kehadiran Presiden dan para petinggi pemerintahan serta para pemilik media dan sejumlah tokoh-tokoh Pers. Belum tampak adanya upaya untuk menggalang kehadiran para wartawan saat puncak perayaan. Sehingga memperoleh kesan bahwa organisasi Pers adalah bagian bahkan berada di bawah pemerintahan.
Seperti HPN pada tahun sebelumnya, kegiatan diawali dengan beragam aksi sosial diberbagai wilayah dari mulai sunat massal hingga pembagian sembako. Dilanjutkan dengan pemberian penghargaan, cinderamata, penandatanganan perjanjian antara pihak satu dengan pihak lainnya. Lalu mensosialisasikan MoU yang ditandatangani sebagai bentuk prestasi pimpinan Dewan Pers serta para pemimpin organisasi Pers lainnya. Sehingga menuai anggapan seluruh rangkaian kegiatan hingga puncak perayaan HPN seperti ajang pesta hura-hura.
Seharusnya, perayaan HPN mendengungkan dan memulai tindakan untuk menyelamatkan sesama insan Pers. Seyogianya HPN menjelaskan arti Pers perjuangan yang kini disebut Pers industri. Kemudian, HPN harus memastikan proses hukum atas kasus-kasus penganiayaan hingga pembunuhan terhadap wartawan, telah berjalan sesuai dengan aturan yang berlaku. Diharapkan, HPN semestinya menjadi solusi efektif untuk meningkatkan taraf kehidupan para insan pers. HPN harus berupaya mendeteksi dan mencari solusi sebagai garansi bahwa Jurnalisme akan bebas dari cengkeraman Juraganisme yaitu para pemilik modal yang menggunakan Pers untuk untuk kepentingan bisnis dan politiknya.
HPN hendaknya membuahkan upaya-upaya perbaikan kualitas. Serta memastikan tidak lagi ada statemen yang menyakitkan dengan tudingan Pers abal-abal. Apalagi akan mensosialisasikan sebutan beraroma ejekan tersebut lewat diskusi publik bertajuk memberantas Pers abal-abal. Menyakitkan, sebab tuduhan Pers abal-abal justru mencuat dari pimpinan Dewan Pers.
Patutkah HPN dirayakan ? Tentu perlu untuk memaknai kebebasan Pers yang sulit diperoleh sebelum tahun 1999. HPN juga akan lebuh bermanfaat bila dijadikan momentum untuk mengevaluasi kinerja dan kehidupan Pers agar lebih baik dan bermanfaat bagi masyarakat luas. HPN akan lebih bermakna bila diisi dengan kegiatan "kegiatan seperti diskusi ataupun evaluasi kinerja pers untuk lebih baik. Ataupun menyelenggarakan dengan semarak lomba karya jurnalistik oleh insan pers dengan beragam topik. Sehingga memotivasi insan Pers untuk meningkatkan kreatifitas dan mempertajam kualitas jurnalistiknya.
Puncak perayaan HPN hendaknya didominasi dengan pemberian penghargaan bagi insan Pers yang menginspirasi masyarakat. Serta memberikan apresiasi kepada insan Pers yang berjuang luar biasa membangun dan mempertahankan kelangsungan usaha Pers.
HPN semestinya memotivasi Pers agar tetap konsisten pada perannya yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa sekaligus sebagai pilar keempat demokrasi. HPN juga menjaga fungsi Pers sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, serta kontrol sosial. Agar Pers dapat melaksanakan tugas dan tanggungjawab serta peran dan fungsinya, HPN harus menjamin kebebasan Pers.
Hendaknya, perayaan HPN ke 73 di Surabaya menjadi momentum untuk merangkai sejarah panjang perjalanan pers nasional. Serta merumuskan arah agar pers konsisten dalam melaksanakan peran dan fungsinya. Sehingga HPN selanjutnya memberikan makna penting bagi seluruh insan Pers Nasional. Selamat HPN . O Edison Siahaan