Beritabatavia.com -
Seandainya pemerintah konsisten menegakkan aturan yang berlaku atau cerdas dengan melakukan revisi terhadap UU no 22/2009, kendaraan bermotor pribadi yang digunakan sebagai angkutan umum tidak menjadi unresolved alias permasalahan yang tak kunjung beres.
Sayangnya, pemerintah menunjukkan potret sedang beternak konflik sebagai simbol sikap ragu pemerintah menertibkan keberadaan angkutan umum ilegal. Akibatnya, kendaraan pribadi berpraktik sebagai angkutan umum (taksi berbasis aplikasi) meskipun melanggar aturan dan potensi memicu konflik justru tumbuh seperti jamur dimusim hujan dan tak terkendali.
Sebelum marak seperti saat ini. Menteri Perhubungan Ignasius Jonan pernah bersikap tegas. Melalui surat bernomor UM.3012/1/21/Phb/2015 dengan klasifikasi penting yang dikirimkan kepada Kapolri. Surat yang ditandatangani pada 9 November 2015 itu meminta Kapolri menertibkan semua bentuk pelanggaran lalu lintas termasuk sepeda motor dan mobil pribadi yang beroperasi sebagai angkutan berbayar. Sayangnya, upaya penegakan hukum tersebut mendapat penolakan di media sosial (Medsos).
Ditengah penolakan itu, Menteri Jonan tetap konsisten agar semua pelanggaran lalu lintas harus ditertibkan. Hingga Jonan harus menyerah dan rela kehilangan wibawa setelah cuitan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di twitter pada Jumat 18/12/2015 yang mempertanyakan larangan Kemenhub tersebut. Saya segera panggil Menhub. Ojek dibutuhkan rakyat. Jangan karena aturan, rakyat jadi susah, kata Presiden Joko Widodo.
Disusul raibnya kabar tentang surat yang dilayangkan Jonan kepada Kapolri. Semua pihak dari pemimpin paling tinggi hingga rakyat jelata seperti sepakat untuk tidak lagi membahas maraknya pelanggaran lalu lintas yang diatur dalam UU No 22 tahun 2009.
Padahal layanan transportasi berbayar yang menggunakan kendaraan pribadi jenis sepeda motor maupun mobil bukan angkutan umum. Penegasan tersebut diatur dalam UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, serta PP N0. 74 Tahun 2014 tentang Angkutan Jalan dan Keputusan Menteri No 35 Tahun 2003 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang di Jalan Dengan Kendaraan Umum dan Keputusan Menteri No 69 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Angkutan Barang.
Adanya proses pembiaran memicu pertumbuhan kendaraan pribadi menjadi angkutan umum semakin membludak. Pemerintah seperti tak berdaya, kewalahan dan kehilangan akal untuk menyelesaikan angkutan umum berbasis aplikasi. Tiga Permenhub yaitu Permenhub 32 tahun 2016 dan Permenhub 26 tahun 2017 serta Permenhub 108 tahun 2017, tentang angkutan umum dengan kendaraan bermotor roda empat berbasis aplikasi, tak punya efek yang signifikan, untuk menyelesaikan.
Berdasarkan data empiris, dari ribuan jumlah kendaraan bermotor yang dijadikan sebagai angkutan umum, tidak lebih sekitar 30 persen yang memenuhi persyaratan sebagai angkutan umum. Masih banyak angkutan umum yang belum berbadan hukum. Begitu juga sopir taksi daring banyak yang belum memiliki surat izin mengemudi (SIM) umum, dan tidak melakukan uji KIR kendaraan.
Permasalahan taksi berbasis aplikasi terbiarkan tergantung dilangit berkabut hitam. Pemerintah kembali diselimuti kagagapan karena menjamurnya sepeda motor menjadi angkutan umum atau ojek online (Ojol). Kemudian menerbitkan Permenhub No 12 tahun 2019 tentang Perlindungan Keselamatan Pengguna Sepeda Motor Yang Digunakan Untuk Kepentingan Masyarakat.
Permenhub no 12 tahun 2019 yang ditanda tangani Menhub 11 Maret 2019, seperti sedang menggaruk kepala untuk kaki yang gatal. Karena, dari 21 Pasal yang tertera tak satupun pasal yang menyebut Ojol sebagai angkutan umum. Sebagai bukti bahwa Ojol bukan angkutan umum.
Anehnya, Permenhub No 12 tahun 2019 mengatur tentang tarif layaknya seperti angkutan umum. Meskipun tarif diganti dengan kata jasa. Hal itu dijelaskan dalam Pasal 11 disebut tentang Formula Perhitungan Biaya Jasa wajib digunakan yang penetapannya oleh Menteri. Selain itu, Permenhub No 12 tahun 2019 lebih focus mengatur tentang kewajiban aplikator dan hubungan kerjanya dengan pengemudi Ojol serta tata tertib hingga mewajibkan warna dan jenis pakaian bagi pengemudi.
Permenhub 12 tahun 2019 tidak memuat substansi permasalahan menjadi jelas dan terang untuk memberikan kepastian apakah Ojol sebagai angkutan umum atau tidak. Padahal penyusunan Permenhub No 12 tahun 2019 sudah melewati proses panjang tentu juga disertai biaya. Seperti yang tertuang dalam jadwal kegiatan harmonisasi antar instansi maupun dengan sejumlah pihak. Tim penyusun melakukan kegiatan Focus Group Discusian (FGD), Kick Of Meeting yang dimulai sejak 8 Januari hingga 8 Maret. Kemudian diundangkan dan 11 Maret hingga 22 Maret sosialisasi.
Sejatinya, peraturan termasuk Permenhub, harus memiliki daya paksa untuk berbuat atau tidak melakukannya. Peraturan perundang-undangan juga dokumen hukum yang memiliki konsekuensi sanksi bagi pihak yang diatur. Peraturan perundang-undangan juga merupakan dokumen politik yang mengandung kepentingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, menyusun peraturan perundang-undangan membutuhkan pengetahuan dan keterampilan. Agar Permenhub No 12 tahun 2019 menjadi solusi efektif. Sehingga kualitasnya lebih baik dari nasihat orang tua kepada anaknya. O Edison Siahaan/ Ketua Presidium Indonesia Traffic Watch (ITW).