Beritabatavia.com -
Sana Jaffrey, sarjana nonresiden pada Program Asia di Carnegie Endowment for International Peace, menilai Indonesia telah melakukan blunder dalam penanganan pandemi virus corona Covid-19. Penanganan lambat, perioritas salah tempat dan tidak percaya terhadap transparasi data, telah membawa Indonesia menuju krisis sosio-ekonomi dalam perang menghadapi wabah virus corona.
Dalam artikelnya yang ditayangkan Carnegie Endowment, disimpulkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) menunda langkah-langkah pencegahan dan mengandalkan klaim yang tidak terbukti bahwa cuaca tropis akan memperlambat transmisi di negara terpadat keempat di dunia itu. Indonesia sekarang menghadapi sistem kesehatan yang runtuh, resesi ekonomi yang dapat terhempas selama dua dekade, dan ancaman kerusuhan sosial yang kian meningkat.
“Tanpa perbaikan dalam penanganan kasus, negara tersebut akan membayar biaya jangka panjang yang amat curam,” ujar Sana Jaffrey.
Ia menganalisa, ada beberapa unsur yang menjadikan pemerintah Indonesia gagap dalam menangani pandemi Covid-19.
Unsur tersebut antara lain, sikap penolakan terhadap krisis, menutup-tutupi data, terlalu melibatkan unsur militer, dan politisasi krisis.
Pada tahap awal penyebaran virus corona, pemerintah Indonesia dinilai abai dalam melakukan tindakan preventif. Pernyataan kontra-produktif dari pejabat dapat menjadi buktinya. Seperti klaim dari Menteri Kesehatan (Menkes) Terawan Agus Putranto yang sempat mengatakan pernyataan tak berdasar dengan menyebut masyarakat harus tenang karena infeksi virus corona bisa sembuh sendiri.
Ketika ilmuan dari Univeritas Harvard menyebut virus Corona semestinya sudah memasuki Indonesia selambatnya pada Februari 2020, Terawan malah terlihat tidak terlalu menanggapi.
Tak lama setelah pernyataan Terawan, Jokowi mengumumkan kasus pertama virus corona di Indonesia yang menginfeksi dua warga Depok pada 2 Maret 2020. Sebenarnya, menurut Sana Jaffrey, banyak pihak meragukan temuan itu benar-benar kasus pertama.
Jokowi mengesampingkan status lockdown, dengan alasan ia mempelajari dampak ekonomi yang keras di negara-negara berkembang lainnya seperti India, saat diberlakukan lockdown.
Dengan tidak adanya tindakan pengamanan yang ketat, kematian akibat virus corona melonjak menjadi yang tertinggi di Asia Tenggara. Pada 28 April, hitungan resmi pemerintah dari kasus positif melampaui 9.500 setelah tes dilakukan pada 62.000 orang, kurang dari 0,02 persen dari total populasi.
Negara ini telah mencatat 895 kematian, termasuk lebih dari 40 dokter dan perawat. Pemerintah juga mengakui kehadiran lebih dari 213.000 kasus yang diduga sedang menunggu untuk diuji.
Krisis yang meningkat memicu deklarasi darurat kesehatan nasional dan pengenaan langkah-langkah jarak sosial di Jakarta dan daerah-daerah lain yang terkena dampak. Pembatasan nasional untuk perjalanan komersial melalui udara, laut, dan darat sekarang berlaku.Indonesia tidak mungkin bisa mencegah dampak dari virus corona sama sekali. Terlepas dari status pendapatan menengahnya, kelompok ini memiliki pengeluaran kesehatan per kapita terendah di antara ekonomi regional utama.
Namun, sebagai salah satu negara paling rawan bencana di dunia, Indonesia memiliki banyak pengalaman dalam memobilisasi respons darurat lokal. Jauh dari sempurna, manajemen epidemi SARS (2003) di masa lalu, tsunami Boxing Day (2004), dan wabah flu burung (2006) setidaknya memiliki kompetensi minimal.
Wabah virus corona ini akan dirasa menjadi ujian tertinggi bagi masyarakat terkait gagapnya pemerintah dalam betindak.
Kali ini, bagaimanapun tampaknya ketahanan orang-orang Indonesia mendapat ujian yang sangat besar oleh pandemik berskala global yang belum pernah terjadi sebelumnya . Hal itu karena ketidakmampuan pemerintah Indonesia. O rmol.id/red