Senin, 13 Juni 2011 09:37:09
JANGAN BERHARAP
JANGAN BERHARAP
Beritabatavia.com - Berita tentang JANGAN BERHARAP
BANYAK orang mengakui bahwa ‘pencitaraan’ adalah modal politik utama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Lewat penampilan yang ...
Ist.
Beritabatavia.com -
BANYAK orang mengakui bahwa ‘pencitaraan’ adalah modal politik utama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Lewat penampilan yang santun, tutur kata yang baik dan kepiawaiannya mengemas kata-kata serta menjual isu-isu membuatnya sukses mengundang simpati publik padanya.
Sikap dan pola politik seperti itulah yang selama ini di perankan oleh para elit dan seluruh jajaran Partai Demokrata (PD). Tapi, tapi sejak kasus bendahara umum PD Muhammad Nazarudin, sikap santun dan gemulai itu mendadak sirna.
Tema-tema yang menawarkan kebersamaan (sharing) seperti ketika kampanye Pilpres 2004 dan 2009 justru tidak dimunculkan SBY. Juru bicaranya, Ruhut Sitompul, malah memantik permusuhan dengan Ketua MK, Mahfud MD. Dalam konteks sosio-kultural yang menyukai sikap andap asor, SBY sepertinya menunggu reaksi publik atas keputusan memecat Nazarudin. Roh SBY yang pernah mengkampanyekan ungkapan Bersama Kita Bisa mulai hilang. Kata kita oleh para pengurus termasuk juru bicara partai sudah diganti saya, aku dan kamu.
Arti penting kebersamaan yang menganggap penting mengajak publik atau massa untuk mencari solusi terpaan isu suap-menyuap di Kemenpora dan Sekjen MK, sudah kehilangan rohnya.
Membicarakan SBY, tidak dapat dilepaskan dari konteks pencitraan. Popularitas SBY, tidak lepas dari peran pers. Oleh karena itu, SBY acapkali memperlakukan media komunikasi massa dengan ramah. Anehnya dalam kasus Nazarudin, SBY cenderung menghindar. Padahal SBY termasuk presiden yang suka membangun akuntabilitas penggunaan kekuasaannya. Sebelumnya, dalam hal apa pun, termasuk hal-hal yang bersifat pribadi, SBY selalu dekat dengan pers. Tak berlebihan bila berbagai kegiatannya sebagai presiden, senantiasa mendapat liputan luas.
Setelah kasus Nazarudin menjadi milik publik, justru yang muncul di permukaan adalah retorika permainan dari pengurus PD yang dapat melukai kemuliaan hukum maupun etika. Padahal, sebagai partai berkuasa seharusnya menjaga martabat dan harga diri. Akibatnya, aparat penegak hukum tidak merespon dan melakukan langkah hukum soal suap-menyuap di Kemenpora dan Sekjen MK.
Ditambah lagi penjelasan SBY di depan para peserta Indonesia Future Leaders Forum, beberapa waktu lalu. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berbicara soal kepemimpinan yang di praktikannya sepanjang tujuh tahun pemerintahannya.
Presiden mengakui bahwa kepemimpinan yang ia jalankan bukan gaya kepemimpinan yang bisa dipakai oleh pemimpin yang lain. Setiap pemimpin pasti memiliki gaya sendiri dan itu sangat tergantung dari situasi dan tantangan yang dihadapi.
Gaya kepemimpinan yang ia jalankan sekarang, menurut Presiden merupakan gaya kepemimpinan yang sesuai dengan era demokrasi. Presiden bahkan menegaskan, kalau dirinya cenderung untuk mengalah, cenderung memilih untuk berkompromi dan membuat konsensus, karena ia tidak ingin kepemimpinan yang dijalankan menjadi otoriter.
Menyimak penjelasan tersebut, maka kita tidak usah lagi berharap akan ada yang berubah hingga tiga tahun kedepan masa pemerintahan SBY. Kita harus menerima kenyataan bahwa segala kebijakan akan diambil berdasarkan pertimbangan yang sangat hati-hati. Kita akan keliru, jika berharap akan ada keputusan yang diambil secara cepat, meskipun dalam kondisi sulit. Bahkan, keputusan seorang menteri baik yang bersifat teknis pun akan melalui proses panjang. 0 edison Siahaan