Beritabatavia.com -
Sikap pemerintah belum bulat terkait rencana pemulangan warga Indonesia eks ISIS. Menteri Agama cenderung menginginkan pemulangan, sedangkan Presiden dan Menkopolhukkam belum memberikan isyarat setuju atau tidak.
Opini publik yang mainstream di media sosial cenderung khawatir dan cemas, sehingga menjadi gelombang penolakan. Karena ancaman radikalisme bahkan ideologi ekstremisme kekerasan (violent extremism) potensi mereka tularkan ke dalam negeri.
Rencana pemulangan warga Indonesia eks ISIS menjadi isu menimbulkan polemik yang terus bergulir dan buying time. Ditengah kekhawatiran publik itulah, wakil ketua Setara Institute, Bonar Tigor Naipospos, angkat suara. Dia menyampaikan sembilan poin pernyataan resmi Setara Institute :
Pertama, Setara Institute mendesak Pemerintah Indonesia untuk merancang dan mengambil kebijakan komprehensif yang presisi sehubungan dengan keberadaan sejumlah anggota dan simpatisan ISIS asal Indonesia yang berada di kamp tahanan di Suriah dibawah otoritas Kurdi. Kekhawatiran publik di dalam negeri sangat beralasan, oleh karena itu, kehati-hatian memang diperlukan sebab menyangkut keamanan nasional. Ketergesa-gesaan dalam masalah ini jelas merupakan pendekatan yang tidak tepat, apalagi disinyalir beberapa di antara mereka adalah ekskombatan yang pernah bertempur sebagai tantara ISIS dan secara ideologis berwatak keras.
Kedua, Setara Institute mengusulkan agar Indonesia memprakarsai dan menggalang kesepakatan internasional tentang nasib eks-anggota, kombatan, dan simpatisan ISIS. Kerjasama internasional dibutuhkan karena ISIS dan ekstremisme-kekerasan serupa ISIS merupakan ancaman global. Apalagi di tingkat domestik, begitu banyak negara, tak terkecuali Indonesia, menghadapi ancaman kelompok ekstrim yang hingga kini masih eksis.
Ketiga, pemerintah Indonesia harus realistis bahwa pada akhirnya, mau tidak mau, Indonesia harus mengambil tanggung jawab terhadap orang-orang asal Indonesia yang pernah menjadi anggota dan simpatisan ISIS. Kita pada saatnya tidak bisa menolak keberadaan dan kembalinya mereka ke Indonesia. Alasan bahwa sebagian mereka telah membuang paspor dan menyatakan bukan warga Indonesia serta pernah bertempur menjadi tentara asing pada saatnya tidak akan relevan. Isu kemanusiaan dan statelessness akan menjadi concern utama dunia internasional.
Keempat, Setara Institute berpandangan bahwa tindakan yang cukup mendesak untuk diambil adalah pemulangan anak-anak Indonesia, terutama yang berada di bawah usia 9 tahun. Semakin lama anak-anak itu tinggal di kamp tahanan, atmosfer yang buruk di kamp akan berdampak pada mereka, baik secara fisik maupun psikis. Semakin lama mereka disana, justru akan semakin terpapar oleh paham ekstrem ISIS dan dampak buruk situasi ekstrem disana. Apalagi dari sejumlah pemberitaan internasional, para perempuan yang masih keras ideologisnya berusaha mempertahankan pengaruhnya dan menekan perempuan lainnya yang berusaha moderat untuk tetap bertahan pada paham keagamaan dan politik ekstremnya.
Kelima, Setara Institute mendesak pemerintah RI untuk membentuk Tim Advance dan mengirim mereka ke Suriah guna identifikasi orang-orang asal Indonesia yang berada di kamp dan mungkin juga di penjara—sebab sebagian kombatan asing (foreign fighter) yang ditangkap dalam pertempuran dijebloskan penjara. Keberadaan Tim dan tugas identifikasi ini bukan hanya sekedar untuk mendapatkan informasi siapa identitas mereka, akan tetapi juga profiling secara utuh atas mereka, termasuk sejauh mana kaitan, kedalaman interaksi, dan keterlibatan mereka dalam jaringan ISIS.
Keenam, Setara Institute mendesak pemerintah harus menggunakan pendekatan hukum yang tepat dan adil. Pada saatnya, Pemerintah tentu sudah mengidentifikasi sejauh mana keterlibatan mereka dalam ISIS.
Ketujuh, Setara Institute juga mendesak pemerintah untuk mengintensifkan perhatian pada pencegahan dan penanganan ekstremisme keagamaan di dalam negeri, agar kerumitan isu ISIS dan keterlibatan warga kita dalam gerakan serupa ISIS di masa-masa yang akan datang. Dalam konteks itu, Setara Institute juga akan selalu mengingatkan pemerintah bahwa intoleransi adalah anak tangga pertama menuju radikalisme dan ekstremisme-terorisme. Oleh karena itu, mengabaikan penanganan kasus-kasus intoleransi yang marak di tanah air berarti sebenarnya sedang menyiram dan menyuburkan bibit-bibit ekstremisme.
Kedelapan, Setara Institute mengingatkan isu pengungsian warga negara Indonesia dari komunitas Syiah di Sidoarjo Jawa Timur dan Ahmadiyah di Mataram Nusa Tenggara Barat. Jemaat Ahmadiyah sudah satu setengah dekade (tiga periode kepresidenan!) terusir dari kampung halaman mereka dan menjadi pengungsi di negeri sendiri. Sudah 8 (delapan) tahun, warga Syiah Sampang mengalami nasib serupa. Maka, pendekatan cepat dan penanganan komprehensif sangat dibutuhkan untuk pemulihan hak-hak konstitusional mereka sebagai warga negara.
Kesembilan, Setara Institute mendesak para politisi untuk tidak menggunakan pertimbangan partisan kelompoknya dalam isu pemulangan warga eks-ISIS ke Indonesia. Pendekatan kepentingan kelompok, apalagi sekedar untuk insentif elektoral pada hajatan-hajatan Pemilu ke depan, sama sekali tidak relevan untuk digunakan. O Rel