Kamis, 23 Juni 2022 15:10:40

Setara : Pemerintah-DPR Kehilangan Itikad Jadwalkan Pengesahan RKUHP

Setara : Pemerintah-DPR Kehilangan Itikad Jadwalkan Pengesahan RKUHP

Beritabatavia.com - Berita tentang Setara : Pemerintah-DPR Kehilangan Itikad Jadwalkan Pengesahan RKUHP

Setara Institute menyayangkan hilangnya itikad Pemerintah dan DPR RI untuk membuka draft terbaru Rencana Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). ...

Setara : Pemerintah-DPR Kehilangan Itikad Jadwalkan Pengesahan RKUHP Ist.
Beritabatavia.com - Setara Institute menyayangkan hilangnya itikad Pemerintah dan DPR RI untuk membuka draft terbaru Rencana Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Justru Pemerintah dan DPR RI sudah menjadwalkan pengesahannya pada Juli mendatang. Persis akhir masa persidanagan V DPR tahun sidang 2021-2022.

Terkait hal tersebut, Direktur Eksekutif Setara Institute Ismail Hasani dan peneliti hukum dan konstitusi Setara Institute Sayyidatul Insiyah, menyayangkan ketiadaan itikad pemerintah untuk membuka draft terbaru RKUHP kepada publik. Apalagi, pembahasan RKUHP ini telah digulirkan sejak puluhan tahun silam, dan terus menjadi bola panas yang mendapat atensi masyarakat setiap kali muncul wacana pengesahan. 

"Sayangnya, draft RKUHP versi terbaru pun masih belum bisa diakses khalayak. Lagi-lagi, pembentuk undang-undang abai akan "meaningful participation” yang seharusnya diimplementasikan dalam setiap proses legislasi. Bagaimana masyarakat bisa didengarkan haknya (right to be heard), dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered), dan diberi penjelasan atas pendapat yang diberikan (right to be explained) jika draft RKUHP sebagai bahan untuk proses deliberatif saja tidak diberikan," kata Ismail Hasani dalam siaran persnya, Kamis 23/11/2022.

Menurutnya, kurangnya ruang deliberatif dalam proses legislasi selama ini menjadi musabab banyaknya penolakan atas berbagai undang-undang, karena proses legislasi yang tidak partisipatif sangat berpotensi mengarah pada produk legislasi yang jauh dari harapan masyarakat. Dalam 3 tahun terakhir, disrupsi legislasi telah diperagakan secara nyata oleh pemerintah dan DPR.

Setara Institute mengingatkan Pemerintah dan DPR untuk membuka kembali dua Putusan Mahkamah Konstitusi, yaitu (1) Putusan MK No. 013-022/PUU-IV/2006 yang telah menganulir pasal penghinaan terhadap presiden-wakil presiden yang sebelumnya terdapat di dalam Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP; dan (2) Putusan MK Nomor 6/PUU-V/2007 yang menegaskan bahwa pasal penghinaan terhadap pemerintah dalam Pasal  154 dan Pasal 155  KUHP telah bertentangan dengan UUD NRI 1945. 
Oleh karena itu, penghidupan kembali pasal penghinaan terhadap presiden-wakil presiden dan pemerintah yang diejawantahkan kembali dalam RKUHP merupakan sebuah bentuk pembangkangan terhadap amanah putusan MK, yang berarti pula pembangkangan terhadap konstitusi. Terlebih, norma tersebut sangat berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum karena rentan pada tafsir apakah suatu protes, pernyataan pendapat atau pikiran merupakan kritik atau penghinaan.

"Delik penghinaan tidak boleh digunakan untuk menghambat kritik dan protes terhadap kebijakan pemerintah maupun pejabat-pejabat pemerintah. Beberapa kasus kriminalisasi para aktivis HAM akibat kritikannya terhadap beberapa pejabat negara yang terjadi belakangan ini seharusnya menjadi refleksi bagi pemerintah untuk mempertimbangkan kembali pencantuman norma pasal penghinaan. Bukan tidak mungkin, rumusan pasal penghinaan khususnya terhadap pemerintah dalam RKUHP akan semakin menjadi alat pemberangusan freedom of expression masyarakat yang mengarah pada shrinking civic space atau pengkerdilan ruang-ruang sipil sekaligus menjadi penanda regresi demokrasi," tegas Ismail Hasani.

Setara Institute juga menyayangkan adanya pasal soal kohabitasi dalam RKUHP. Meskipun kohabitasi adalah perbuatan amoral, namun tidak semua perbuatan yang dianggap tercela dalam konteks agama secara otomatis dikategorikan sebagai perbuatan pidana. Terlebih, hukum pidana seharusnya diterapkan sebagai ultimum remidium (upaya terakhir) dalam membenahi persoalan sosial manakala institusi sosial tidak lagi berfungsi. Pasal ini menjadi bukti bentuk intervensi negara yang terlalu eksesif terhadap ranah privat setiap individu. 

Sangat disesalkan masih diadopsinya pidana mati dalam substansi RKUHP. Sekalipun pidana mati sebagai ultimum remidium, namun penerapan hukuman mati adalah sebuah paradoks terhadap upaya pemenuhan hak hidup (right to life) yang menurut konstitusi merupakan hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam bentuk apapun. Terlebih, berdasarkan catatan Amnesty International, tren global pada tahun 2020 menunjukkan bahwa 142 negara sedang mengarah pada penghapusan hukuman mati, dan hanya 52 negara termasuk Indonesia yang masih konsisten dengan penerapan hukuman mati. Alih-alih menghapus, pemerintah justru menambah deretan regulasi soal pidana mati dengan menyisipkan pidana mati dalam draft RKUHP. 

Juga disayangkan, adanya contradictio interminis perihal pasal penodaan agama. Pasal 302 ayat (1) telah menunjukkan progresivitas paradigma pembentuk undang-undang yang menitikberatkan pada pidana hasutan dan pidana kebencian berdasarkan sentimen keagamaan dan kepercayaan. Namun, dalam ayat (2) pada Pasal yang sama, pemerintah masih mempertahankan pasal penodaan agama yang secara nyata selama ini justru menjadi akar dari banyaknya intoleransi dan diskriminasi. Pasal penodaan agama dalam UU PNPS 1/1965 maupun KUHP seringkali digunakan untuk menghukum interpretasi seseorang yang berbeda dari keyakinan keagamaan mayoritas.

"Yang seharusnya diatasi oleh pemerintah adalah ekspresi kebencian berdasar sentimen keagamaan/kepercayaan sebagaimana dalam Pasal 302 ayat (1) RKUHP, bukan kelembagaan agama yang selama ini menjadi alasan dominan di balik pasal penodaan agama, " ujar Ismail . 

Sementara Sayyidatul Insyiah mendesak Pemerintah dan Komisi III DPR RI untuk membuka draft RKUHP versi terbaru kepada publik. Untuk memberikan ruang delibratif kepada masyarakat sehingga terwujud prinsip meaningful participation.

Kemudian menolak keras pasal-pasal RKUHP yang diskriminatif dan mendorong  Pemerintah dan DPR mematuhi putusan MK dengan cara membatalkan pasal penghinaan terhadap presiden dan wakilnya dan pemerintah dalam substansi RKUHP. 0 rel/son

Berita Lainnya
Jumat, 22 Maret 2024
Kamis, 21 Maret 2024
Kamis, 21 Maret 2024
Kamis, 21 Maret 2024
Rabu, 20 Maret 2024
Rabu, 20 Maret 2024
Selasa, 19 Maret 2024
Minggu, 17 Maret 2024
Minggu, 17 Maret 2024
Jumat, 15 Maret 2024
Kamis, 14 Maret 2024
Kamis, 14 Maret 2024