Beritabatavia.com -
JAKARTA, - Miris kata yang tepat untuk penerapan hukum di negeri kita tercinta ini, dapat dibayangkan seorang terpidana 1 tahun penjara, bukannya menjalani hukumannya di dalam sel jeruji besi malah saat ini mendapat hidup enak dan di jamin oleh negara.
Bupati Pesisir Selatan, Sumatra Barat, Rusma Yul Anwar yang saat ini menjabat, seharus nya sudah diberhentikan saat dirinya dilantik sesuai isi undang undang pemilihan kepala daerah. Pasalnya Bupati Rusma Yul Anwar merupakan terpidana karena melanggar UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengolahan Lingkungan Hidup, dengan kementerian lingkungan hidup sebagai pelapor dan dijatuhi hukuman pidana 1 tahun penjara dengan denda Rp 1 Milliar subsider 3 bulan kurungan penjara.
Rusma yang statusnya sebagai terdakwa dapat lolos mencalonkan dirinya sebagai Cabup Pesisir Selatan dengan no urut 2, dengan syarat pemalsuan surat SKCK. Seharusnya SKCK itu tidak dapat keluar jika seseorang dalam proses beracara sebagai terdakwa di meja hijau. Entah apa yang ada dibenak para pejabat ASN di Kemendagri ini, sudah hampir berjalan 2 tahun terpidana tersebut menjabat sebagai kepala daerah, sungguh sangat miris, tidak hanya undang undang pilkada Kemendagri gilas, UU 1945 yang juga sebagai acuan dasar mereka tabrak demi meloloskan seorang terpidana sebagai pemenang Pilkada di Pesisir Selatan, Sumatra Barat.
Menurut pandangan Dr Isharyamto SH, M.HUM ahli hukum tata negara dari Universitas Sebelas Maret, Surakarta, Solo Jawa Tengah, keputusan menteri dalam negeri no 131.13.360 TAHUN 2021, bertentangan dengan peraturan perundang undangan pasal 164 ayat (6), ayat (7) dan ayat (8) undang undang Pilkada 2016. Dr Isharyanto menjelaskan dalam isi gugatan sengketa tata usaha negara mengenai keputusan Menteri Dalam Negeri no 131.13.360 TAHUN 2021, dalam pengesahan pengangkatan Bupati dan Wakil Bupati Pesisir Selatan, Drs Yusma Yul Anwar dan Rudi Hariansyah. Isharyanto dalam pandangannya sebagai Pakar Hukum Tata Negara Universitas sebelas maret itu menjelaskan jika pengangkatan Rusma Yul Anwar sebagai Bupati Pesisir Selatan tidak sah. Karena pada saat tahapan pemilihan umum daerah dimulai Rusma Yul Anwar telah berstatus terpidana berdasarkan keputusan pengadilan yang berkuatan hukum tetap karena dilaporkan oleh kementrian lingkungan hidup karena melakukan usaha tanpa izin lingkungan.
Menurut Isharyanto, dasar hukum pengaturan implikasi hukum calon kepala daerah terpilih yang berstatus tersangka, terdakwa dan terpidana belum secara detail diatur dalam UU Pilkada 2016. UU pilkada 2016, dikatakan Isharyanto lebih banyak mengatur tentang status tersangka, terdakwa dan terpidana yang disandang kepala daerah yang sudah dilantik dan menjabat sebagai kepala daerah. Namun implikasi hukum kepada kepala daerah yang berstatus tersangka, terdakwa dan terpidana belum diatur secara mendetail oleh undang undang ataupun peraruran pemerintah. Namun diawal sebetulnya terdapat proses yang harus dilalui sebelum penyelenggara pemilu membatalkan atau menggugurkan calon peserta pilkada. Karena pada UU Pilkada 2016 sudah dijelaskan persyaratan sebagai calon perserta Pilkada.
Dalam UU Pilkada 2016, para calon peserta Pilkada bisa gugur atau batal pencalonannya sebagaimana diatur di ayat 7 UU Pilkada2016, dengan contoh calon menjadi terpidana dengan keputusan yang berkeluatan hukum tetap, sehingga pencalonan tersebut akan gugur berdasarkan syarat pencalonan. Ditegaskan Isharyanto jika seorang terpidana dibiarkan mengikuti tahapan pilkda merupakan hal yang tidak dapat dibenarkan, karena tidak sesuai persyaratan UU Pilkada 2016. Bahkan jika tetap dibiarkan dan dilantik maka bertentangan dengan pasal 163 ayat 6,7 dan 8. Serta pasal 164 ayar 6,7 dan 8 UU Pilkada 2016.
Dijelakan Isharyanto dalam pendapat hukum tata negara, jika kepala daerah berstatus tersangka, terdakwa ataupun terpidana pada saat pelantikan maka yang bersangkutan tetap dilantik lalu langsung diberhentikan. Sampai saat ini Hendrajoni yang merupakan mantan Bupati Pesisir Selatan, masih melakukan upaya gugatan ke PTUN karena di kasus Bupati terpidana sangat bertentangan dengan konstitusi peraturan undang undang Pilkada.
Namun justru upaya gugatan Hendrajoni yang menggugat tentang keabsahan Surat Keputusan yang dikeluarkan pihak Kemendagri justru PTUN memenangkan pihak Kemendagri, sehingga pihak Hendrajoni dan kuasa hukumnya mengajukan banding ke PTTUN ( Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara) karena ini sudah jelas sekali banyak pelanggaran pelanggaran hukum yang dilakukan oleh pihak Kemendagri dalam menerbitkan SK MENDAGRI no. 131.13-360 tahun 2021 mengenai pengesahan bupati terpilih di PESSEL. Jika kasus ini tetap dibiarkan maka status hukum dan politik di Indonesia tidak lebih bagaikan negeri dongeng, karena hukum dapat tunduk dengan kekuatan konspirasi. (Red/tk)