Beritabatavia.com -
Pengacara senior, Suhandi Cahaya mengatakan, investasi bodong telah melanggar undang-undang perbankkan yang terdapat didalam pasal 46 undang-undang nomor 7 tahun 1992 jo undang-undang nomor 10 tahun 1998 tentang perubahan atas undang-undang nomor 7 tahun 1992 tentang perbankan.
Bahkan para pelaku investasi bodong, lanjut Suhandi, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 5 tahun dan paling lama 15 tahun serta denda sekurangkurangnya Rp10 miliar rupiah, dan paling banyak Rp. 20 Miliar rupiah.
Permasalahan yang timbul dan mencuat ke permukaan terkait investasi bodong ini, lantaran adanya kasus yang menimpa PT Indosurya Inti Finance yang mengorbankan para nasabah hingga mencapai Rp116 triliun rupiah.
Sementara itu, korban dalam investasi bodong itu, kebanyakan kaum ibu-ibu. Sebab, dalam menyikapi segala sesuatu kebanyakan ibu-ibu (perempuan) lebih uneducated people, dengan iming-iming memperoleh keuntungan yang begitu tinggi perbulan.
"Wanita lebih banyak menggunakn perasaan (sense of feeling) lain lagi dengan kaum lelaki yang lebih banyak menggunakan akal (sense of rational)," ujar Prof. DR. Suhandi Cahaya, SH, MH, MBA. dalam Seminar Investasi yang diinisiasi oleh majalah Sudut Pandang, dikawasan Taman Impian Jaya Ancol, Jakarta Utara, Sabtu, (24/8/2024).
Bagaimana seorang hakim yang berpendapat bahwa perbuatan tersebut jelas-jelas perbuatan pidana, tetapi telah dibelokkan menjadi adanya hubungan keperdataan diantara pihak-pihak tersebut.
Sebabnya, lanjut Suhandi, di negara Republik Indonesia ini menganut sistem hukum Eropa Kontinental (Civil Law System)dan sistem hukum Common Law seperti di Inggris dan Amerika Serikat.
Bahwa, di dalam sistem hukum Civil Law selalu irah-irah di dalam Putusannya adalah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa".
Sehingga seorang hakim dalam putusannya merasa telah berbuat / bertindak seolah-olah telah mewakili Tuhan Yang Maha Esa.
"Padahal Tuhan tidak pernah memberikan Surat Kuasa kepada hakim untuk bertindak atas nama Tuhan. Bila di negara-negara Common Law hakimnya selalu memutuskan “Demi Keadilan Berdasarkan Undang-Undang," tegas Suhandi.
Jika memperhatikan kedua undang-undang perbankan maupun undang-undang perbankan Syariah, kata Suhandi, perbuatan PT. Indosurya Inti Finance sudah jelas adanya aspek pidananya.
Namun, yang menjadi penyebab lagi beberapa prof Suhandi, adalah instansi-instansi dari pemerintah juga memberikan ijin operasion, kepada perusahaan-perusahaan yang berinvestasi di bidang tersebut.
"Jadi adanya ketertarikan antara instansi-instansi pemerintah yang memberikan ijin beroperasi perusahaan tersebut diatas yang sejak awal sudah mempunyai niat (Opzet) untuk melakukan penipuan dan atau penggelapan terhadap nasabahnya," timpal Ahli hukum Mahkamah Konstitusi dari IBLAM School of Law Jakarta itu lagi.
Apabila memperhatikan pada Azas Causaliteit dari Von Buri dan melihat kenyataan yang ada, maka prof Sundi berpendapat setidak-tidaknya yang memberikan Ijin operasional tersebut juga harus bertanggungjwab, (juga sebagai tersangka).
"Supaya mereka ikut bertanggung jawab dan menimbulkan efek jera (deterrent effect) jika mereka sesungguhnya telah dengan sengaja menyusahkan masyarakat / publik," ujarnya.
Kendati begitu, ahli hukum Mahkamah Konstitusi dari IBLAM School of Law Jakarta itu menegaskan, meski ada pendapat bahwa adanya perbuatan Pidana tetapi telah di belokkan menjadi adanya hukum keperdataan diantara pihak-pihak sehingga terdakwa dilepaskan dari segala tuntutan hukum.
"Jawabannya adalah tidak benar dan telah dikuatkan oleh putusan kedua Mahkamah Agung RI dan tindakan tersebut telah dijatuhi putusan penjara selama 18 tahun (hukuman maksimal)," pungkasnya.
0fery