Minggu, 26 September 2010 14:19:48

BBM Timbulkan Kerugian & Penderitaan

BBM Timbulkan Kerugian & Penderitaan

Beritabatavia.com - Berita tentang BBM Timbulkan Kerugian & Penderitaan

Kehidupan manusia tak lepas dari BBM (bahaya, bencana, dan musibah). Secara umum, respon manusia terhadap BBM ini diantaranya, menghilangkan sumber ...

BBM Timbulkan Kerugian & Penderitaan Ist.
Beritabatavia.com - Kehidupan manusia tak lepas dari BBM (bahaya, bencana, dan musibah). Secara umum, respon manusia terhadap BBM ini diantaranya, menghilangkan sumber bencana dengan Memperbaikinya, Meminimalkan dampak, Mengasuransikan kerugian, Merelakan kerugian, dan Pindah/menghindari dari sumber bencana (M4P).

Bahaya, merupakan suatu hal yang dapat menyebabkan (menimbulkan) kesusahan, kerugian, atau penderitaan. Bencana (disaster) akan terjadi setelah bahaya mengakibatkan korban, baik material dan non material. Musibah merupakan kejadian yang menyedihkan, dan itu terjadi setelah bencana. Memang, dalam bencana ada takdir. Namun sebagai manusia, kita berusaha agar meminimalkan efek dari bencana.

Secara umum, bencana yang terjadi merupakan akibat dari faktor geologi (gempabumi, tsunami, dan letusan gunung api), faktor hidrometeorologi (banjir, tanah longsor, kekeringan, angin topan), faktor biologi (wabah penyakit manusia, penyakit tanaman/ternak, hama tanaman, faktor kegagalan teknologi (kecelakaan industri, transportasi, radiasi nuklir, pencemaran bahan kimia), dan faktor sosial seperti konflik antar manusia.

Di negeri kita, semua bencana tersebut pernah terjadi. Berdasarkan data sejarah bencana dunia, bencana letusan Gunung Krakatau (1883) merupakan bencana berskala besar, dan banyak negara merasakan dampaknya.

Bencana kerapkali terjadi, tidak mengenal tempat dan waktu. Ia datang tak diundang, dan tak terduga. Dengan seringnya kita mendengar kejadian bencana, tentunya kita perlu mengantisipasinya. Antisipati merupakan prioritas pembangunan, dan hal tersebut telah tercermin dengan adanya Rencana Nasional Penanggulan Bencana (Renas PB) 2010-2014, yang dapat dijadikan acuan dalam melakukan pengutamaan berbagai kebijakan dan program penanggulangan bencana. Renas PB telah diintregrasikan dalam RPJMN 2010-2014. Keberadaan Renas PB tersebut merupakan implementasi dari UU No 24 tahun 2007 tentang Penaggulangan Bencana.

Data dan informasi bencana (Dibi BNPB) menunjukkan, bahwa Indonesia memiliki jumlah kejadian bencana bervariatif setiap tahunnya. Dibi merupakan database kenjadian bencana yang dihimpun dari tahun 1997-2009. Berdasarkan Dibi, tercatat bahwa pada pada tahun 2009, negara kita banyak mengalami bencana (1853 kejadian), runner-upnya pada tahun 2008 (1302 kejadian), dan tahun 2004 (895 kejadian).

Berdasarkan jenis bencana yang sering terjadi, banjir (31% atau 2375 kasus) menduduki rangking pertama, diikuti kebakaran (18% atau 1373 kasus), dan kekeringan (15% atau 1152 kasus). Untuk distribusi banyaknya bencana yang terjadi, Jawa Tengah (1398 kejadian) merupakan provinsi yang paling banyak mengalami bencana, diikuti Jawa Barat (996 kejadian), dan Jawa Timur (594 kejadian).

Dari segi jumlah korban, Tsunami memakan korban terbanyak (129.508 meninggal), gempabumi (8.577 meninggal) dan banjir (1275 meninggal). Banjir menjadi langganan negara kita, dan bencana alamlah yang banyak memakan korban jiwa. Berdasarkan deskripsi tersebut, menunjukkan bahwa bencana merupakan bagian dari hidup kita, dan living together with disaster. Lalu, so what gitu lho? Kesiapan dari setiap individu untuk mampu menghadapi dan mengatasi bencana dapat dijadikan hak dan kewajiban bagi kita yang hidup di negeri rawan bencana.

Berdasarkan Peta Indeks Bencana yang dikeluarkan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), banyak kota yang miliki lebih dari satu bencana. Misalnya Jakarta, selain banjir yang mengancam, kebakaran gedung dan permukiman, kekeringan, kegagalan teknologi dan cuaca ekstrim menghantui ibukota.

Kawasan perkotaan, kawasan yang notabene kegiatan utamanya bukan pertanian. Perkotaan dengan berbagai macam aktifitas, dan terdapat insfrastruktur yang lengkap, tentu menjadi magnet buat warga pedesaan. Dengan banyaknya pendatang, kompleksitas masalah kebencanaan yang bersifat non-alam, seperti kebakaran, dapat meningkat.

Agar kota dapat adaptif terhadap bencana, pengembangan kota sebaiknya tidak hanya dikembangkan berdasarkan aspek sosial, ekonomi, politik dan kultural saja, namun aspek bencana harus dimasukkan dalam sistem pembangunan kota.

Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana (PB) menurut UU Nomor 24 tahun 2007, pasal 33, terdiri dari 3 tahap, yaitu prabencana, saat tanggap darurat dan pascabencana. Kegiatan prabencana mencakup pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, serta peringatan dini. Mitigasi, merupakan serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana.

Upaya mitigasi dapat dilakukan secara pendekatan struktural dan non-struktural. Pemetaan daerah rawan bencana merupakan upaya mitigasi secara struktural. Pemetaan ini dapat dijadikan base untuk kebijakan pemerintah pusat dan daerah serta base peningkatan kesadaran masyarakat terhadap ancaman bencana. Selain itu, perlu ada aturan tentang pendirian bangunan, baik perumahan, perkantoran, maupun fasilitas publik dengan konstruksi yang disesuaikan jenis bencana yang akan terjadi. Upaya mitigasi secara non-struktural, diantaranya perencanaan tata ruang yang menempatkan lokasi fasilitas umum dan fasilitas sosial di luar zona bahaya bencana.

Tidak semua wilayah yang memiliki potensi bahaya akan mempunyai risiko yang tinggi terhadap bencana. Bila pada wilayah tersebut memiliki kondisi yang rentan, maka wilayah tersebut dapat dikatakan mempunyai risiko terjadi bencana. Risiko bencana disuatu wilayah, dipengaruhi oleh hazard, vulnerability, dan capacity. Mereduksi faktor bahaya, mengurangi/menurunkan kerentanan, dan meningkatan kapasitas merupakan tindakan pengurangan resiko bencana yang terkandung dalam Hyogo Framework for Action. Vulnerability (kerentanan) merupakan rangkaian kondisi yang menentukan, apakah bahaya tersebut akan menimbulkan bencana atau tidak. Kerentanan dapat berupa kerentanan fisik, ekonomi, dan sosial. Secara umum, kerentanan tersebut, meliputi letak suatu komunitas dari pusat ancaman, tingkat kepadatan penduduk, tingkat kerapatan bangunan, jumlah masyarakat rentan, tingkat kemiskinan, dan fasilitas publik seperti rumah sakit, sekolah, kantor pemadam kebakaran, dan lainnya. Capacity (Kapasitas) merupakan kemampuan untuk memberikan respon terhadap situasi tertentu dengan sumber daya yang tersedia (fisik, manusia, keuangan, dan lainnya).

Dunia internasional menganggap serius masalah bencana, dan menetapkan hari pengurangan resiko bencana (World Disaster Reduction Day) yang diperingati setiap Rabu pekan kedua bulan Oktober. Resilience City, merupakan tema World Disaster Reduction Day tahun ini.

Masyarakat mempunyai hak dan kewajiban dalam Penanggulangan Bencana (PB), karena masyarakatlah yang menjadi korban. Tanpa disadari, masyarakat juga berperan memicu terjadinya bencana, khususnya bencana non-alam. Bencana alam, seperti gempa bumi, tsunami, dan letusan gunung api, manusia hanya bisa memprediksi kejadian tersebut, namun kapan tepatnya bencana terjadi, hanyalah kuasa Tuhan.

Bencana di perkotaan frekuensinya meningkat dari tahun ke tahun. Tentu ini menjadi evaluasi dalam pembangunan kota. Kota yang adatif bencana, tanggap bencana, tangguh bencana, serta masyarakatnya siaga dan sigap bencana, tentu menjadi impian bagi kota-kota yang langganan tertimpa bencana. Bila kota-kota di Indonesia meimplementasikan pasal 35 UU PB, secara perlahan namun pasti, hasrat tersebut akan terwujud.

Perkotaan menghadapi realita kepadatan dan kemiskinan penduduk, serta tata ruang yang sembrawut. Sebagai contoh, planning kota menetapkan kawasan sekitar sungai yang tidak bisa dihuni, namun karena kepadatan dan kemiskinan penduduk, berjamurlah permukiman di bantaran sungai. Pembangunan infrastruktur yang tidak memperhatikan kondisi lingkungan, dan ulah manusia yang membuat degrasi lingkungan, memudahkan bencana terjadi.

Dalam bencana, banyak korban jiwa karena akibat efek infrastruktur. Misal, tertimpa reruntuhan, tersengat listrik, terjadi kebakaran, dan lainnya. Bencana utamanya adalah gempa, efek dari durasi dan getaran gempa yang terjadi pada infrastuktur yang tidak sesuai kaidah keteknikanlah yang menjadi penyebab timbulnya korban.

Di perkotaan dengan kerapatan bangunan yang tinggi, dengan berpenduduk banyak, tentu perlu membangun insfrastruktur yang sesuai karakteristik wilayahnya. Bila wilayah tersebut berpotensi gempa, kondisi bangunan haruslah disesuaikan. Bila wilayah tersebut merupakan wilayah banjir, menghidari badan air dan memperlancar drainase perlu dilakukan. Kemajuan teknologi seperti unsur code building, rekasaya desain, dan lainnya, dapat mendukung upaya mitigasi struktural. Selain hunian, fasilitas publik juga perlu memiliki kontruksi yang berstandar tinggi, dan sesuai dengan jenis bencana di wilayahnya.

Disetiap bangunan bisa dilakukan proses penerapan strategi rancangan dan bangunan konstruksi dengan standar rancangan dan peraturan bangunan yang memadai, khususnya standar bangunan tahan bencana. Bila kota-kota besar menerapkan hal tersebut, Making Cities Resilient dan Earthquake Megacity Inisiative, bisa tercapai. Sehingga cerdas bencana tidak hanya kotanya saja, penduduk kotapun juga mempunyai mainset yang sama. Serta ketangguhan bangsa dalam menghadapi bencana pun terwujud. Penanggulangan Bencana bukan merupakan beban dan tanggung jawab pihak tertentu, namun merupakan beban dan tanggung jawab kita bersama. 0 Wulan Komalawati/ pemerhati masalah kebencanaan
Berita Terpopuler
Berita Lainnya
Jumat, 29 April 2022
Selasa, 01 Maret 2022
Minggu, 30 Januari 2022
Jumat, 28 Januari 2022
Selasa, 02 November 2021
Rabu, 25 Agustus 2021
Jumat, 23 Juli 2021
Rabu, 16 Juni 2021
Jumat, 07 Mei 2021
Kamis, 11 Maret 2021
Selasa, 12 Januari 2021
Jumat, 11 Desember 2020