Kamis, 05 September 2013 12:11:58
Mediasi Menyesatkan di Dewan Pers
Mediasi Menyesatkan di Dewan Pers
Beritabatavia.com - Berita tentang Mediasi Menyesatkan di Dewan Pers
Proses mediasi antara Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Didaktika Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Rektorat UNJ dan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM ...
Ist.
Beritabatavia.com -
Proses mediasi antara Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Didaktika Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Rektorat UNJ dan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM Fakultas Ilmu Keolahragaan (FIK) di gedung Dewan Pers, Rabu (4/9) diwarnai dengan pernyataan-pernyataan menyesatkan.
Sengketa di UNJ bermula dari tindakan pengeroyokan oleh sejumlah mahasiswa FIK terhadap Chairul Anwar salah seorang awak LPM Didaktika. Aksi kekerasan itu dipicu sebuah artikel bertajuk ‘MPA, Riwayatmu Kini’ yang ditulis Chairul Anwar pada Warta MPA LPM edisi IV 2013. Aksi kekerasan yang dilakukan oleh sejumlah oknum mahasiswa FIK tidak hanya itu, mereka juga melakukan perusakan di Sekretariat LPM Didaktika pada Sabtu, 24 Agustus 2013.
Atas peristiwa pengeroyokan terhadap Chairul Anwar kemudian dilaporkan ke Polsek Metro Pulogadung dengan nomor laporan 608/K/VIII/2013 tertanggal 24 Agustus 2013. Berdasarkan laporan tersebut, polisi sudah menerima hasil Visum korban, dan memeriksa sejumlah saksi korban.
Awalnya proses mediasi berjalan kondusif, menyusul penjelasan dari anggota Dewan Pers, Leo Batubara bahwa, mediasi ini tidak mencampuri urusan hukum. Karena proses hukum sepenuhnya adalah wewenang aparat penegak hukum.
Terkait karya jurnalis di LPM Didaktika yang ditulis oleh Chairul Anwar, Leo secara tegas menyatakan tidak menemukan adanya kesalahan. Namun, Leo meminta jika ada pihak yang keberatan atau dirugikan, seharusnya menggunakan hak jawab, bukan dengan kekerasan. Apalagi, Leo mengingatkan LPM Didaktika adalah milik lembaga pendidikan yang harus menjadi contoh bagi masyarakat.
Namun, suasana mendadak mencekam disusul pernyataan yang bernada ancaman oleh seorang dosen yang diketahui juga menjabat sebagai Pembantu Dekan (PD) FIK UNJ. Bergaya ala ‘jagoan kampus’ sang PD FIK itu mengatakan Silahkan saja lanjutkan laporan polisi, tapi kami tidak bertanggung jawab dan menjamin jika ada apa-apa yang terjadi diluar, katanya sambil menatap tajam para awak LPM Didaktika.
Pernyataan itu memicu proses mediasi tidak lagi berlangsung imbang dan setara. Secara pysikolgis pimpinan dan awak LPM Didaktika tertekan dan dilanda ketakutan.
Disusul pernyataan anggota dewan Pers Yosep Adi Prasetyo biasa dipanggil Stanley yang bertindak sebagai mediator mengatakan agar laporan polisinya dicabut. Sebab pelapor akan capek sendiri, apalagi Pasal 170 KUHP itu hanya tindak pidana ringan (Tipiring).
Perasaan galau bercampur cemas yang melanda awak LPM Didaktika memaksa mereka harus pasrah, ketika kesediaan untuk mencabut laporan dimasukan menjadi salah satu poin dalm mediasi tersebut.
Stanley lupa bahwa Dewan Pers adalah lembaga untuk menyelesaikan permasalahan yang ditimbulkan akibat karya jurnalis, bukan lembaga perdamaian atas proses hukum. Bahkan pernyataan Stanley bahwa Pasal 170 KUHP adalah tindak pidana ringan sungguh menyesatkan.
Seharusnya Stanley menjelaskan perihal Pedoman Dewan Pers dalam menyelesaikan tindak kekerasan terhadap pers seperti yang tertera dalam ketentuan penutup :
1. Setiap kasus kekerasan terhadap wartawan akan diselesaikan melalui litigasi. Kecekatan para penegak hukum amat penting untuk menghindari impunitas yang menyebabkan penyelesaian kasus kekerasan terhadap wartawan dan media pers terabaikan dalam waktu yang tidak menentu.
2. Penyelesaian nonlitigasi dapat dilaksanakan jika benar-benar dikehendaki oleh korban tanpa tekanan dari pihak mana pun. Penyelesaian nonlitigasi harus melibatkan perusahaan pers, organisasi profesi wartawan, dan Dewan Pers.
Justru Chairul Anwar sebagai korban, sangat memahami isi dari pedoman Dewan Pers bahwa penyelesaian nonlitigasi adalah atas kemauan korban. Chairul memastikan mediasi tidak akan mengganggu proses hukum. Saya tidak akan mencabut laporan polisi, katanya.
Chairul menambahkan, dalam proses mediasi dirinya tidak diminta bicara soal pengeroyokan yang dilakukan sejumlah oknum mahasiswa FIK UNJ. Apalagi, tambahnya, kasus ini bukan merupakan delik aduan, tetapi murni tindak pidana. Sehingga penyidik kepolisian hanya bisa menghentikan kasus apabila tidak cukup bukti, atau bukan merupakan tindak pidana dan jika terlapor meninggal dunia. Maka, pencabutan laporan tidak akan menghentikan penyidikan kasus yang dilaporkannya. O Edison Siahaan