Minggu, 18 Januari 2015 12:05:01
Kekacauan & Kasus Komjen BG
Kekacauan & Kasus Komjen BG
Beritabatavia.com - Berita tentang Kekacauan & Kasus Komjen BG
Penetapan status tersangka Komisaris Jenderal (Komjen) Polisi Budi Gunawan (BG) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuai polemik yang ...
Ist.
Beritabatavia.com -
Penetapan status tersangka Komisaris Jenderal (Komjen) Polisi Budi Gunawan (BG) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuai polemik yang terus bergulir. Tidak hanya itu, penetapan itu juga memicu kekacauan (Chaos) proses ketatanegaraan. Bahkan membuat Lembaga Kepresidenan, DPR-RI, Polri, Kompolnas menjadi gamang. Serta membawa masyarakat masuk pada sebuah era yang tidak memiliki kepastian.
Solusi menyelesaikan kerumitan, justru menuai badai polemik yang lebih besar. Presiden Jokowi, menunda pelantikan Komjen BG sebagai Kapolri, tetapi memberhentikan Jenderal Sutarman dari jabatan Kapolri yang masa pensiunnya baru pada Oktober 2015 mendatang. Saat yang bersamaan juga, Presiden Jokowi menunjuk Wakapolri Komjen Badrodin Haiti sebagai pelaksana tugas (Plt) Kapolri. Rencana awal Presiden Jokowi untuk mengangkat Kapolri justru menimbulkan kekacauan.
Memang tidak ada yang keliru dalam penetapan status tersangka Komjen BG, sebab KPK hanya melakukan proses hukum biasa. Meskipun banyak pihak yang mempertanyakan, mengapa semangat KPK berkobar mengusut dugaan kasus rekening gendut Komjen BG, setelah Presiden Jokowi mengajukan Komjen BG sebagai calon tunggal Kapolri, mengantikan Jenderal Sutarman. Lalu kenapa pula KPK mengumumkan status tersangka ketika beberapa saat lagi Komjen BG akan menjalani proses fit and profer test di DPR-RI. Momentum yang digunakan KPK mengundang pertanyaan bahkan kecurigaan.
Momentum itulah menjadi dasar oleh banyak pihak menyebut penetapan status tersangka Komjen BG oleh KPK sangat sarat aroma politis. KPK disebut melakukan upaya hukum tapi mengabaikan prinsip hukum dan merampas hak konstitusional yang dilindungi oleh konstitusi. Bahkan KPK dituding memiliki agenda pesanan untuk mengganjal Komjen BG menjadi Kapolri. KPK lupa penegakan hukum harus berkeadilan, tidak menimbulkan kekacauan,tetapi justru memberikan rasa aman. KPK alpa, sesuatu yang benar bisa menjadi salah, jika proses dan waktu serta tempatnya tidak dalam posisi yang tepat.
Kini tuntutan terhadap kewenangan KPK mulai bergulir. Sejumlah ahli hukum menilai tindakan hukum yang dilakukan KPK tidak sah, karena kebijakan KPK dapat dilaksanakan apabila jumlah unsur pimpinan lengkap. Mengingat masa kerja salah seorang unsur pimpinan KPK sudah berakhir. Sehingga tindakan hukum yang dilakukan KPK menjadi tidak sah sesuai dengan amanat undang-undang KPK. Bahkan, sejumlah pihak mendesak agar KPK diminta pertanggungjawaban soal kasus Komjen BG.
Bila perihal dasar hukum KPK itu terus bergulir dan mendapat respon masyarakat luas, maka upaya KPK untuk memberantas korupsi menjadi sia-sia. KPK akan dituding bermain politik dalam kasus Komjen BG, kemudian reputasi KPK dan kepercayaan publik akan ambruk. Bahkan lebih runyam, bila KPK dituding sebagai lembaga yang semberono dan menimbulkan kekacauan. Semua jadi galau.
Kekacauan ini sebenarnya tidak perlu terjadi, apabila para petinggi lembaga-lembaga negara adalah sosok-sosok negarawan yang mengutamakan kepentingan bangsa dan negara. Kegalauan ini tidak akan pernah ada, apabila para pengambil kebijakan membangun komunikasi yang didasari atas kebersamaan demi kepentingan bangsa dan negara.
Bangsa Indonesia tidak dilanda prahara, dan berbagai ancaman yang potensi mengganggu stabilitas keamanan, kenyamanan dan saling curiga, apabila para pemimpin lembaga saling menghormati dan tidak merasa paling berwenang. Sebab pemimpin tidak boleh merasa paling pintar atau paling hebat. Tetapi pemimpin yang baik adalah pemimpin yang pintar dan hebat merasa.
Bangsa Indonesia akan menjadi bangsa yang besar, maju dan dihargai seluruh bangsa yang ada dimuka bumi ini. Apabila Lembaga Eksekutif, Legislatif, Judikatif bersinergi membangun komunikasi dengan semangat kebersamaan dalam melaksanakan fungsi masing-masing. Agar tetap dalam koridor demi kepentingan bangsa dan negara kesatuan republik Indonesia.
Namun sudah terlanjur. Kondisi saat ini seperti tumor yang terus menggerogoti tubuh bangsa Indonesia. Semua pihak harus menahan diri untuk tidak melakukan upaya yang justru memperkeruh situasi.
Dan tak kalah pentingnya, Presiden Jokowi selaku Kepala Negara dengan segera menggunakan kewenangannya untuk menciptakan situasi menjadi kondusif, agar tidak menimbulkan kekacauan kewenangan. Kepala Negara dapat menyuntikkan Abolisi sebagai obat penawar untuk memulihkan dan mencegah ancaman tumor dari bangsa Indonesia. O Edison Siahaan