Beritabatavia.com -
Kecuali Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, banyak pihak meragukan hasil survey tingkat kemacetan di Jakarta pada periode 2018 menurun delapan persen. Sekaligus menempatkan Jakarta pada peringkat ke-7 yang sebelumnya menempati posisi ke-4 kota termacet di dunia.
Karenahasil survey sangat berbeda jauh dengan kondisi ril lalu lintas dan angkutan jalan Ibukota. Belum ada indikasi adanya upaya parmanen sebagai solusi efektif untuk mengurai kemacetan akut di ibukota Jakarta dan sekitarnya. Bahkan beragam permasalahan dan pelanggaran berlangsung seperti legal. Keamanan,keselamatan,ketertiban,kelancaran lalu lintas (Kamseltibcarlantas) di ibukota Jakarta dan sekitarnya seperti sesuatu yang mewah dan sulit terwujud.
Nyaris seluruh ruas jalan di ibukota tak luput dari wabah kemacetan dan kesemrautan. Peristiwa kemacetan dan kesemrautan tidak lagi terjadi pada waktu tertentu atau jam sibuk. Kesemrautan dan kemacetan terlihat secara kasat mata, seperti menu wajib yang tersaji di ruas-ruas jalan raya dan tol. Dapat dipastikan, hasil survey akan sesuai dengan fakta bila dilakukan pada saat dua pekan sebelum dan sesudah hari Raya Idul Fitri. Bahkan kemacetan dan kesemrautan di Jakarta akan menurun hingga 50 persen.
Berbeda dengan Gubernur DKI Anies Baswedan sumringah merespon hasil survey menurunnya tingkat kemacetan di ibukota Jakarta. Bahkan, Pemprov DKI bersikukuh, penurunan kemacetan di ibukota Jakarta merupakan fakta dan buah dari sejumlah upaya yang dilakukan. Seperti pengoperasian sejumlah underpass dan flyover, serta penutupan perlintasan sebidang kereta api. Kemudian kebijakan memperluas area ganjil genap, serta membangun sistim transportasi terintegrasi dengan program JakLingko. Serta sejumlah program yang dikleim Pemprov DKI dapat menurunkan tingkat kemacetan.
Tak ingin membiarkan hasil survey hilang ditelan kemacetan dan kesemrautan di ruas-ruas jalan Jakarta. Anies bergerak cepat mengemas hasil survey menjadi dasar langkah berikutnya untuk meraih pujian. Memanfaatkan hasil survey sebagai modal, Anies kemudian memasang target akan meningkatkan pengguna transportasi umum hingga 75 persen. Bahkan Anies yakin target tercapai selama masa kepemimpinannya. Tentu terdengar woow, karena itulah kata kunci untuk mewujudkan Kamseltibcarlantas.
Sayangnya, target yang diinginkan tidak jelas keberadaannya. Sehingga kemungkinan terwujud hingga masa jabatan atau 2022 akan sulit terwujud. Mematok peningkatan pengguna kendaraan umum hingga 75 persen adalah sebuah kesulitan tingkat tinggi. Bahkan, tak salah jika keinginan itu hanya sebuah mimpi sebelum tidur.
Sebab, upaya meningkatkan pengguna kendaraan umum dapat terwujud apabila transportasi angkutan umum yang terintegrasi keseluruh penjuru dan terjangkau secara ekonomi sudah tersedia. Tidak hanya itu, transportasi angkutan umum yang tersedia juga harus memberikan garansi tepat waktu dan Kamseltibcarlantas.
Kemudian, disertai kebijakan pembatasan kendaraan bermotor hingga jumlahnya ideal dengan daya tampung ruas dan panjang jalan yang tersedia. Sementara, upaya yang dilakukan hanya pembatasan gerak kendaraan lewat kebijakan ganjil genap dan rekayasa lalu lintas. Pertanyaannya, apakah Pemprov DKI serius dan berani menjadi pelopor kebijakan moratorium terbatas atau berjangka penjualan kendaraan bermotor baru di ibukota ?
Pemicu utama kemacetan adalah faktor manusia (human error) dan jumlah populasi kendaraan bermotor yang tidak terkendali. Disusul ketersediaan angkutan umum yang kurang layak mendorong masyarakat lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi. Belum adanya kontrol terhadap populasi maupun jumlah kendaraan mempermudah keinginan untuk memiliki kendaraan bermotor.
Ditengah carut marut lalu lintas dan angkutan jalan ibukota serta beragam permasalahan yang belum mendapat solusi pamanen. Apakah pengguna angkutan umum dapat meningkat hingga 75 persen ? Tentu siapa yang mendalilkan harus dapat membuktikan. O Edison Siahaan / ketua Indonesia Traffic Watch (ITW).