Beritabatavia.com -
Mengumumkan nama calon Kapolri yang diajukan ke DPR RI pada minggu pertama Januari 2021 sebelum menjalani fit and prover test. Akan efektif mencegah kegaduhan dalam proses pergantian Kapolri yang bahkan potensi menimbulkan polarisasi di tubuh Polri. Seperti Pilpres 2019 lalu yang hingga saat menyisakan polarisasi atau terbelahnya masyarakat dengan sebutan kelompok "Cebong dan Kampret".
Apalagi memanasnya suksesi kepemimpinan Polri sudah disampaikan Kapolri Jenderal Idham Azis, saat peringatan HUT Bhayangkara ke 74 pada 1 Juli 2020 lalu. Padahal masa jabatannya masih dan akan berakhir pada awal Februari 2021. Memang, saat itu Kapolri mengakui Polri tetap kompak tetapi ada api dalam sekam ditingkat petinggi Polri.
"Semakin ke depan nanti itu semakin tajam. Ini baru Juli. Agustus nanti (bulan) ber, ber, ber itu sudah semakin tajam. Kalau kayak lagunya Bimbo, tajam tak bertepi," canda Idham di depan para pejabat kepolisian. "Tapi saya kira ini bukan di Polri," kata dia lagi. "Polisi di Indonesia itu saya lihat kompak-kompak sih, tapi kayak api dalam sekam," kata Idham.
Apa yang disampaikan Idham terbukti. Keriuhan dalam proses pergantian Kapolri dimulai dengan mencuatnya nama-nama sejumlah perwira tinggi Polri yang akan menggantikan Kapolri Jenderal Idham Azis. Disusul isu perang bintang antara tiga kelompok yang menurut ketua Presidium IPW, Neta Pane, kelompok yang merebut kursi Kapolri disebut sebagai geng Solo yaitu pejabat polisi yang pernah bertugas di Solo khususnya saat Jokowi menjabat sebagai Walikota Solo. Kemudian geng Pejaten dirujuk sebagai pejabat polisi yang menjadi adik asuh Kepala BIN Jenderal (Purn) Budi Gunawan. Selanjutnya geng atau kelompok Makassar mengacu pada pejabat polisi yang berasal dari daerah Sulawesi seperti Jenderal Idham Azis.
Kemudian merujuk sebuah pepatah lawas " pukul anak sindir menantu" praktiknya tak terlihat secara kasat mata, namun dapat dirasa. Yaitu upaya melibatkan atau menggunakan pihak ketiga dalam melancarkan aksi saling jegal dan pukulan-pukulan jeb ringan untuk mengkanvaskan lawan, terasa tetapi tidak terlihat dengan mata. Seperti Transparansi dalam kasus suap Djoko Tjandra yang menjerat dua jenderal polisi dikemas menjadi isu bahwa transparansi itu adalah upaya memuluskan perebutan kursi TB1. Padahal kasus Djoko Tjandra bergulir normal sesuai dengan proses hukum yang berlaku.
Disusul merebaknya isu tentang suplay informasi dari internal Polri kepada pihak ketiga sebagai bahan untuk melemahkan kompetitor lainnya.Kemudian adanya skenario pembusukan dengan statemen seakan nama calon Kapolri yang dikirimkan Presiden ke DPR RI adalah si A. Sedangkan nama si B, C dan D atau E sudah dicoret. Padahal sampai saat ini Presiden belum mengumumkan nama calon Kapolri untuk menggantikan Jenderal Idham Azis. Sehingga potensi menuai kegaduhan dan menimbulkan saling curiga diantara kompetitor.
Artinya,membiarkan proses pergantian Kapolri bergulir terlalu lama, akan membuka peluang bagi siapapun untuk melakukan upaya-upaya yang potensi menimbulkan pertikaian dan perpecahan di internal Polri. Bahkan situasi bisa lebih parah dan berdampak terjadinya polarisasi ditubuh Polri, bila menghembuskan isu SARA sebagai upaya saling menjatuhkan.
Memang dinamika adalah keniscayaan, meskipun proses pergantian Kapolri tidak seperti Pilpres dan Pilkada atau pemilihan umum. Tetapi meningkatkan kualitas kinerja jauh lebih penting dari dinamika yang terjadi pada perebutan kursi Kapolri. Presiden harus memastikan, langkah prioritas adalah bagaimana Polri mempertahankan dan meningkatkan kepercayaan publik saat menjalankan tufoksinya yaitu memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat di rumah besar bernama negara kesatuan republik Indonesia. Serta berupaya menjadi aparat penegak hukum yang berorientasi untuk melayani dan melindungi serta mengayomi masyarakat.
0 Edison Siahaan